Selasa, 02 Maret 2010

Pengelolaan Kawasan Konservasi Indonesia



Pengelolaan Kawasan Konservasi Indonesia : Konflik Kepentingan Konservasi Lingkungan Hidup dengan Kepentingan Rakyat - Hari Bumi 2009



Untuk pengelolaan hutan konservasi, seperti taman nasional, cagar alam, taman buru, hutan wisata dan hutan lindung, dilakukan pengelolaan oleh pemerintah melalui unit pelaksana teknis sebagai perwakilan pemerintah di lapangan. Sebagian lokasi kawasan konservasi juga dikelola bersama dengan lembaga konservasi internasional. Hingga saat ini pengelolaan hutan konservasi masih sangat jauh dari sisi pengelolaan hutan oleh rakyat, karena pengertian konservasi sebagai kawasan yang "steril" dari masyarakat masih menjadi pegangan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Hal tersebut mengakibatkan seringnya terjadi konflik antara rakyat dengan pengelola kawasan, misalnya di Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Rawa Aopa Watumoai, Taman Nasional Gunung Halimun, dan beberapa kawasan konservasi lainnya di Indonesia.

Kekerasan di Hutan : Pengelolaan Kawasan Konservasi Indonesia

Indonesia yang memiliki Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Perlindungan Alam seluas 23.214.626,57 hektar, dimana sebagian besarnya merupakan Taman Nasional. Konsep pengelolaan Taman Nasional sangat sentralistik dan kerap mengabaikan keberadaan masyarakat adat/lokal yang justru telah hidup di kawasan-kawasan tersebut secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Hal inilah yang menjadi titik terjadinya konflik kepentingan antara kepentingan konservasi dan kepentingan rakyat.

Untuk pengelolaan hutan konservasi, seperti taman nasional, cagar alam, taman buru, hutan wisata dan hutan lindung, dilakukan pengelolaan oleh pemerintah melalui unit pelaksana teknis sebagai perwakilan pemerintah di lapangan. Sebagian lokasi kawasan konservasi juga dikelola bersama dengan lembaga konservasi internasional. Hingga saat ini pengelolaan hutan konservasi masih sangat jauh dari sisi pengelolaan hutan oleh rakyat, karena pengertian konservasi sebagai kawasan yang "steril" dari masyarakat masih menjadi pegangan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Hal tersebut mengakibatkan seringnya terjadi konflik antara rakyat dengan pengelola kawasan, misalnya di Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Rawa Aopa Watumoai, Taman Nasional Gunung Halimun, daTaman Nasional Komodo: Saat Nelayan Tak Boleh Lagi Mencari Ikan

Taman Nasional Komodo terletak di Propinsi Nusa Tenggara Timur, ditetapkan berdasarkan SK Menhutbun No 172/Kpts-II/2000 dengan luas wilayah 132.572 hektar (wilayah daratan seluas 40.728 hektar), keputusan ini merupakan penetapan yang ketiga sejak penetapan pertamanya tahun 1980. sebelum ditetapkan sebagai taman nasional kawasan ini telah ditetapkan sebagai cagar alam sejak zaman Belanda.

Taman Nasional Komodo (TNK) merupakan salah satu TN yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak tahun 1980, tahun 1986 UNESCO menetapkannya sebagai warisan alam dunia (world heritage) dan sebagai wilayah cagar biosfer. Berada di ketinggian 500–600 dpl dan terletak diantara pulau Sumbawa (NTB) dan pulau Flores (NTT), meliputi pulau Rinca, Komodo, Papagaran, Kukusan (yang ada di dalam kawasan dan pulau Messa, Seraya Besar, Seraya Kecil (di luar kawasan).

Kawasan TNK merupakan wilayah tangkapan ikan "favorit" bagi nelayan Sape, pulau maupun daratan (Labuan bajo). Sejak ditetapkannya kawasan ini sebagai wilayah Taman Nasional Komodo, mulai banyak terjadi tindak kekerasan yang dialami masyarakat, tidak kurang dari 10 nyawa melayang, 3 orang hilang dan puluhan bahkan ratusan nelayan yang mendapatkan tindak kekerasan dari aparat dan data terakhir 9 nelayan ditangkap pada tanggal 25 April 2003. Semua tuduhannya sama yakni memasuki wilayah "terlarang" di TNK.n beberapa kawasan kTaman Nasional Wakatobi : Surga Dunia, Bukan Surga Rakyat

Sejak tahun 1995 Pemerintah pusat melalui LIPI dan Kementerian Lingkungan Hidup RI menyetujui Kontrak Kerjasama pengelolaan kawasan perairan Kepulauan WAKATOBI (Kepulauan Tukang Besi) hingga tahun 2020 (25 tahun) pada sebuah perusahaan dengan nama Badan Pelaksana (BP) Wallacea yang berkedudukan di Jakarta dan berpusat di UK–Inggris, yang selanjutnya beroperasi dengan nama Yayasan Wallacea. Kemudian disebutkan bahwa BP Walacea akan melaksanakan serangkaian kegiatan riset di kawasan tersebut dengan nama "Operation Wallacea" dengan fokus pada riset jenis spesies flora dan fauna di dalam areal perairan dengan luas total 1.390.000 hektar. Untuk mendukung upaya tersebut maka pemerintah pusat menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan Taman Nasional Laut dengan nama Taman Nasional Kepulauan WAKATOBI melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 31 Juli 1996. Kawasan tersebut dibagi menjadi lima zona.

Nama WAKATOBI diambil dari nama awal empat pulau utama di kawasan tersebut yaitu (Wanci, Kaledupa, Tomia & Binongko). Dengan pengawasan sebuah kantor perwakilan Taman Nasional di kota Baubau. Praktis kawasan yang telah dibagi dalam beberapa zonasi tersebut (tanpa musyawarah mufakat dengan masyarakat lokal) membawa segudang masalah dengan masyarakat nelayan yang turun temurun mengelola secara adat seluruh kawasan perairan tersebut. Mulai dari larangan memasuki zona terlarang, zona riset, zona pemanfaatan hingga tidak adanya akses masyarakat lokal untuk menentukan pola pengelolaan kawasan TN tersebut. Belum lagi adanya upaya melaksanakan kegiatan Illegal Ecotourism berkedok riset di kawasan ini oleh pengelola BP Wallacea. Tak kurang dari 100 orang peneliti dari berbagai negara Eropa datang di pulau ini dan secara bergantian melakukan kegiatan "riset" di kawasan TN Kepulauan Wakatobi.onservasi lainnya di Indonesia. Taman Nasional Lore Lindu : Ketika Rakyat Dongi-Dongi Menuntut Hak

Pendudukan lahan Dongi-dongi yang terletak di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang dilakukan oleh masyarakat yang berasal dari empat (4) kampung; Kamarora A; Kamarora B; Kadidia; Rahmat, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala. Sebenarnya bukan baru kali ini, namun peristiwa serupa pernah juga terjadi pada tahun 1998 dan 1999. Namun pada saat itu, pendudukan yang dilakukan masyarakat dari keempat (4) desa ini, masih dengan mudah dipatahkan oleh kekuatan represif (militer) dan Pemerintah Daerah (Pemda) kala itu.

Masyarakat di empat (4) desa ini, merupakan komunitas masyarakat yang dipindahkan dari tiga (3) kecamatan, seperti: Kecamatan Dolo; Kecamatan Marawola; Kecamatan Kulawi, dengan program pemerintah; Project Resettlement dan Trans Local sekitar tahun 1979 dan 1983.

Sebelumnya, komunitas yang dipindahkan ini merupakan suku bangsa yang memiliki kebiasaan bercocok tanam pada lahan kering, mencari hasil hutan (memiliki ketergantungan pada hasil hutan-red), seperti suku Da"a, dan Kulawi. Kedua komunitas suku yang dominan pada keempat (4) desa ini. Namun, melalui kedua project pemindahpaksaan (involuntary resettlement) ini, komunitas-komunitas masyarakat ini mengalami pergeseran tata cara bercocok tanam. Sejak dipindahkan mereka menjadi petani lahan basah, tanpa ada bimbingan yang intensif, dari instansi yang berwenang.

Melalui pemindahpaksaan ini pula. Mereka telah merasakan bencana yang kini mencuat, kekurangan lahan. Sebab sejak awal Pemda waktu itu menjanjikan lahan seluas 2 Ha untuk setiap Kepala Keluarga (KK). Namun, sejak dipindahkan tahun 1979 hingga saat ini, janji itu tidak pernah ditepati, karena lahan yang diberikan hanya berkisar 0,8-1 Ha untuk setiap KK. Sementara jumlah KK terus bertambah menjadi pecahan KK, kini pecahan KK yang ada telah mencapai tiga (3) generasi. Seperti yang terjadi di Desa Kamarora A yang bertambah menjadi Kamarora B.

Wilayah Dongi-dongi sendiri merupakan lahan bekas areal konsesi PT Kebun Sari sejak tahun 70-an, sebagai pemegang ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Sementara, masyarakat dari empat (4) desa ini, kala itu banyak yang menjadi buruh pada PT Kebun Sari. Diwaktu senggang, mereka menanam kopi, coklat, pada areal ini. Dan tanaman-tanaman tersebut, seperti Kopi, hingga saat masih terawat dengan baik. Bahkan, ada yang jauh sebelum ada PT Kebun Sari, TNLL, dan jalan Poros Napu-Palolo, mereka telah menanami areal itu dengan tanaman Kopi. Tanaman-tanaman inipun masih ada sampai sekarang. Inilah salah satu alasan, kenapa mereka berulang kali melakukan pendudukan dan mempertahankan lahan tersebut. Taman Nasional Rawa Aopa Watomohai : Meniadakan Hak-hak Rakyat Moronene

Taman Nasional RAW ditetapkan pada tanggal 17 Desember 1999 lewat keputusan Menteri Kehutanan RI no 756/kpts/II/1990, dengan luas 105.194 Ha TN RAW membentang dari mulai kabupaten Kendari – Kolaka hingga ke kabupaten Buton. Proses penetapannya sendiri sudah dimulai sejak dikeluarkannya rekomendasi Gubernur Sulawesi tenggara pada tanggal 5 Mei 1983 no 522.51 kepada menteri kehutanan c.q Dirjen PHKA. TN RAW memiliki empat tipe ekosistem yakni: savana, rawa laut (bakau), rawa darat dan ekosistem dataran rendah.

Orang Moronene diyakini merupakan suku tertua dan pertama yang mendiami dataran Sulawesi tenggara, saat ini mereka umumnya bermukim dan menyebar di sebelah selatan Sulawesi tenggara dan salah satu kampung (tobu) tertuanya adalah tobu HukaEa LaEa. Menurut sebagian antropolog asal usul nenek moyang mereka berasal dari daratan Filipina yang diperkirakan mulai bermukim sejak tahun 1720. secara administratif perkampungan Orang Moronene meliputi 7 wilayah kecamatan yang tersebar di kecamatan Kabaena, Kabaena Timur, Rumbia, Poleang Barat, Poleang Timur, Rarowatu, Watubangga (di wilayah Buton) serta 1 (satu) kecamatan di wilayah Donggala. Ketujuh kecamatan tersebut dulunya merupakan wilayah kerajaan Moronene yang luasnya mencapai 3.393,67 Km2.

Setelah tahun 1920 orang Moronene mulai banyak yang pindah dan atau dipindahkan dengan berbagai alasan di antaranya akibat bencana yang datang diantaranya. Pada tahun 1953 kampung merka diserbu dan dikuasai gerombolan badik, pada tahun 1957 terjadi penyerangan oleh pasukan DI/TII yang mengharuskan mereka meninggalkan kampungnya. Sejak peristiwa inilah Orang Moronene mulai dipindah-pindahkan oleh pemerintah ke lokasi-lokasi pemukiman baru. Namun demikian ikatan orang Moronene dengan tanah leluhurnya tidaklah hilang, secara teratur mereka masih masuk tobu HukaEa LaEa untuk berkebun dan juga membersihkan kuburan leluhurnya.

Dalam masa pengungsian inilah pemerintah mulai menunjukan sikap represif dan otoriternya dengan melakukan pembatasan-pembatasan akses Orang Moronene di tanah leluhurnya serta tindakan intimidasi di antaranya:

Pengambilalihan wilayah adat Orang Moronene secara paksa

Pembakaran dan pengrusakan rumah-rumah penduduk

Pembabatan tanaman masyarakat yang siap panen

Penangkapan hingga ke penahanan Orang Moronene

Penghilangan mata pencaharian masyarakat

Sebelum kejadian itu semua Orang Moronene (tobu HukaEa LaEa) telah melakukan upaya yang simpatik dalam usahanya kembali ke tanah leluhur, diantaranya dengan mengirim surat ke pemerintahan termasuk kepada balai taman nasional RAW, namun tidak ada tanggapan dari semua instansi yang dikirimi surat tersebut. Karena tidak adanya respon serta berlarut-larutnya maslaah tersebut maka pada tanggal 15 – 18 Februari 1996 sebagian warga Hukaea Laea dan Lampola memasuki tobu mereka

Semua tindakan pemerintah tersebut berlindung dibalik "perlindungan kawasan konservasi". Untuk melegitimasi tindakannya pemerintah pun menuduh Masyarakat sebagai perusak hutan, penyerobot wilayah Taman Nasional dan juga perusak kekayaan sumber daya alam. Walaupun fakta berbicara bahwa; bukti sejarah, peninggalan bekas perkampungan, pekuburan masyarakat, bukti vegetasi, aturan-aturan adat yang masih terdokumentasikan dan masih dilaksanakan, pengakuan dari orang Moronene yang menyatakan bahwa kampung HukaEa LaEa merupakan wilayah leluhurnya, fakta bahwa hutan yang terjaga justru yang ada di wilayah hukum orang moronene.







0 komentar:

Posting Komentar